Bab 8
Ide berani itu muncul lagi di benak aku.
Aku setiap saat dipancing dan digoda oleh Kak Nia, tapi aku tidak pernah melawan.
Bagaimana kalau aku melawan sekali?
Bukankah Kak Nia selalu menyuruhku untuk membuka diri?
Bagaimana aku bisa membuka diri kalau aku tidak mencobanya?
Jadi, aku menarik celanaku setengah dan tiba–tiba berkata kepada Kak Nia, “Kak Nia, aku merasa nggak nyaman sekali. Bukankah kamu bilang kalau aku merasa nggak nyaman, kamu bisa membantuku.”
Setelah mengatakan itu, jantungku berdetak lebih cepat dan aku sangat ketakutan.
Terutama karena ini pertama kalinya aku mengucapkan kata–kata berani seperti itu kepada Kak Nia, aku merasa tidak yakin. 1
“Aku mau masak.” Kulihat Kak Nia tersipu malu.
Ini mengejutkan dan menyenangkan bagiku.
Kak Nia tidak menolakku secara langsung, jadi itu ada peluang.
Aku terus berkata dengan berani, “Nggak apa–apa, tinggal dicuci saja nanti.”
Sambil berkata begitu, dengan berani aku menarik lagi tangan Kak Nia.
Saat aku menyentuh tangan Kak Nia, aku merasa itu sangat lembut dan halus, seperti tidak ada tulangnya..
Ini adalah pertama kalinya aku menyentuh tangan seorang wanita, aku mau tidak mau merasa resah.
Kak Nia tidak menolak saat aku memegang tangannya, seolah dia menikmatinya.
Aku curiga Kak Nia sangat tidak puas dengan kakakku dan tubuhnya sangat ingin dinutrisi oleh laki–laki lain.
Aku semakin berani dan mencoba meletakkan tangan Kak Nia di tempatku.
Aku berpikir kalau Kak Nia bisa membantuku, aku pasti akan sangat senang.
Saat aku sedang membayangkan, Kak Nia tiba–tiba menyentil keningku dengan tangannya
=
AA
yang lain.
+25 BONUS
Lalu dia berkata sambil tersenyum, “Edo, kamu nggak benar–benar ingin aku menggosok dengan tanganku kan?”
Melihat Kak Nia kembali menjadi dirinya yang biasa, aku merasa kecewa dan bersalah.
Aku segera melepaskan tangan Kak Nia.
Aku memang berpikir begitu tadi, tapi aku tidak berani mengakuinya.
Karena reaksi Kak Nia sungguh membuatku bingung.
Aku hanya bisa berbohong dah berkata, “Nggak, nggak, beraninya aku.”
“Lalu kenapa kamu tadi mengambil tanganku dan meletakkannya di sana? Kamu masih bilang kamu nggak memikirkannya?”
Kak Nia menatap mataku langsung.
Tapi, aku sama sekali tidak berani menatap Kak Nia.
Wajahku bahkan lebih panas.
Kak Nia tiba–tiba memegangi wajahku dan memintaku untuk melihatnya.
“Edo, pikirkan saja, nggak perlu malu.”
“Kamu merasa nggak nyaman sekarang dan ingin seorang wanita membantu kamu menyalurkan hasratmu. Ini normal.”
“Katakan sejujurnya pada Kak Nia, apa tadi kamu ingin Kak Nia membantumu?”
Aku melihat mata Kak Nia yang besar dan berair serta bibir merahnya yang menggoda.
Napasku menjadi lebih sesak.
Saat ini, aku sangat ingin memeluk Kak Nia dengan segala cara, lalu menciumnya erat–erat.
Apalagi Kak Nia selalu membimbingku untuk mengutarakan isi hatiku.
“Katakan, katakan saja isi hatimu, Kak Nia nggak akan menyalahkanmu.”
Karena godaan Kak Nia, akhirnya aku memberanikan diri berkata, “lya, aku tadi ingin Kak Nia membantuku.”
“Kak Nia, bisakah kamu membantuku?” Aku memandang Kak Nia dengan penuh semangat dan berkata dengan penuh harap.
213
Bab 8
“Pfft.”
+25 BONUS
Kak Nia merasa terhibur denganku, lalu berkata, “Tentu saja nggak, apa yang kamu pikirkan?”
“Aku kakak iparmu. Kalau aku bantu kamu melakukan itu, apakah aku nggak bersalah pada kakakmu?”
“Edo, kamu juga nggak mau melakukan hal yang bersalah pada kakakmu ‘kan?”
Omong–omong soal Kak Wiki, hasratku terasa seperti disiram seember air dingin.
Tiba–tiba menghilang.
Aku melepaskan tangan Kak Nia dan berkata dengan frustrasi, “Tentu saja aku nggak ingin melakukan sesuatu yang bersalah pada kakakku.”
“Kak Nia, maafkan aku tadi.”